Ep 3: Metaphorical Sites #1 – LAND “Introduction”
En Id Pt
Menu

Kami merekomendasikan menonton lewat Vimeo. Silakan menonton lewat Youtube jika layanan Vimeo diblokir di wilayah anda.

Text

Ep 3: Metaphorical Sites #1 – LAND “Introduction”

Jessica Ayudya Lesmana
Dini Adanurani
Prashasti Wilujeng Putri
69 Performance Club
Durasi film: 2.20

Rotten TV – Satelit Yogyakarta menempatkan tema “Pembusukan” sebagai sebuah perspektif dan alat analisis filosofis untuk men-decode persoalan-persoalan keseharian, dalam rangka memahami sirkulasi kosmologis kehidupan manusia. Alih-alih bertanya tentang “Apa itu Pembusukan?”, kuratorial ini mengambil sudut pendirian dengan bertanya: “Bagaimana kita melihat dan memahami dunia berdasarkan perspektif Pembusukan? Pertanyaan di atas adalah landasan untuk meninjau kembali isu-isu global hari ini, seperti keadilan gender, krisis iklim, krisis kesehatan, dan “masyarakat media” (merujuk pada M. Adolf, K. Baumann, and M. Rhomberg. (2011). Knowledge Society, Media Society and Democratic Action: The Case of Responsiveness. Di dalam makalah konferensi IAMCR 2011-Istanbul). Untuk mengeksplorasi masalah-masalah ini melalui praktik artistik, kuratorial Rotten TV – Satelite Yogyakarta membagi tiga gugus produksi karya seni, yang selanjutnya disebut situs-situs metaforis, yaitu “Lahan”, “Tubuh”, dan “Siber”. Di dalam masing-masing gugus, para seniman partisipan berkreasi baik secara individual maupun kolaboratif untuk mengerjakan suatu telaah dan ungkapan artistik yang berupaya membongkar persoalan-persoalan di atas dengan menggunakan “Pembusukan” sebagai kacamata utamanya.

Dalam gugus pertama, Situs Metaforis “Lahan”, tiga seniman yang diundang untuk menanggapi kuratorial ini adalah Jessica Ayudya Lesmana (Yogyakarta), Dini Adanurani (69 Performance Club, Jakarta), dan Prashasti Wilujeng Putri (69 Performance Club, Jakarta). Fokus sub-kuratorial dalam situs metaforis ini mendorong eksplorasi konseptual tentang hubungan antara gender dan lahan. Dengan melihat aspek sosial dan politik lahan, baik dalam wujud fisik maupun kedudukan konseptualnya, para seniman mencoba meraih semacam refleksi puitis atas faktor-faktor kerentanan ruang, manusia, dan waktu, sekaligus berupaya mempersepsikan pemahaman terhadap ketiga fenomena tersebut melalui penyajian suatu narasi yang memanfaatkan modus dan bentuk seni performans. Dengan kata lain, interpretasi yang dituju merupakan suatu pengujian bahasa performatif, demi mengungkapkan beragam kemungkinan dalam menyuarakan secara subtil akar-akar persoalan dari—serta hubungan di antara—keadilan gender, krisis ruang, dan tekanan-tekanan alamiah dan artifisial yang mengitari keduanya. Karya mereka juga menawarkan ekspresi-ekspresi di dalam kerangka “Pembusukan” yang bergema dengan narasi sosial dan usaha eksperimentasi atas bentuk yang bersifat idiosinkratik terhadap visualisasi “busuk” yang selama ini dikenal secara konsensus oleh masyarakat.